Posted by : M ULUL AZMI UMAM
Tuesday, 12 November 2013
A.
Motivasi
1.
Pengertian
Motivasi
Motivasi
berasal dari kata movere yang berarti dorongan atau menggerakkan.
Motivasi (motivation) dalam manajemen hanya ditujukan pada sumber daya
manusia umumnya dan bawahan khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya
mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif
berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan.
Pentingnya
motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung
perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias untuk mencapai hasil
yang optimal. Motivasi semakin penting karena manajer membagikan pekerjaan pada
bawahannya untuk dikerjakan dengan baik dan terintegrasi kepada tujuan yang
diinginkan.
Perusahaan
tidak hanya mengharapkan karyawan mampu, cakap dan terampil tetapi yang
terpenting mereka mau bekerja giat dan berkeinginan untuk mencapai hasil kerja
yang maksimal. Kemampuan dan kecakapan karyawan tidak ada artinya bagi
perusahaan jika mereka tidak mau bekerja giat.
Di bawah ini merupakan beberapa pengertian dari motivasi yaitu:
Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2005:143).
”Motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi
dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan.
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2007:93).
“Motivasi adalah kondisi yang menggerakan pegawai agar mampu mencapai
tujuan dari motifnya”.
Menurut Marihot Tua Efendi
Hariandja (2002:321).
“Motivasi adalah faktor-faktor
yang mengarahkan dan mendorong perilaku atau keinginan seseorang”.
Menurut T. Hani Handoko (2003:252).
“Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang
mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna
mencapai tujuan”.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah
dorongan dalam mengarahkan individu yang merangsang tingkah laku individu serta
organisasi untuk melakukan tindakan dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
2.
Tujuan
Motivasi
Tujuan
motivasi menurut Malayu S.P. Hasibuan (2005:146) adalah sebagai berikut:
a.
Meningkatkan
moral dan kepuasan kerja karyawan.
b.
Meningkatkan
produktivitas kerja karyawan.
c. Mempertahankan kestabilan karyawan
perusahaan.
d.
Meningkatkan
kedisiplinan karyawan.
e.
Mengefektifkan
pengadaan karyawan.
f.
Menciptakan
suasana dan hubungan kerja yang baik.
g.
Meningkatkan
loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan.
h. Meningkatkan kesejahteraan karyawan.
i.
Mempertinggi
rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya.
j.
Meningkatkan
efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku
3.
Jenis-Jenis
Motivasi
Malayu S.P
Hasibuan (2005:150) mengatakan bahwa jenis-jenis motivasi adalah sebagai
berikut:
a.
Motivasi
Positif (Insentif Positif)
Motivasi Positif adalah Manajer memotivasi
(merangsang) bawahan dengan memberikan hadiah kepada mereka yang berprestasi di
atas prestasi standar
b.
Motivasi
Negatif (Insentif Negatif)
Motivasi Negatif adalah Manajer memotivasi bawahan
dengan standar mereka akan mendapatkan hukuman. Dengan motivasi negatif ini
semangat bekerja bawahan dalam waktu pendek akan meningkat karena mereka takut
dihukum, tetapi untuk jangka panjang dapat berakibat kurang baik.
4.
Metode
Motivasi
Malayu S.P.
Hasibuan (2005:149), mengatakan bahwa ada dua metode motivasi adalah
sebagai berikut:
a.
Motivasi
Langsung (Direct Motivation)
Motivasi langsung adalah motivasi (materiil dan Non
Materiil) yang diberikan secara langsung kepada setiap individu karyawan untuk
memenuhi kebutuhan serta kepuasannya, jadi sifatnya khusus, seperti pujian,
penghargaan, tunjangan hari raya, bonus dan bintang jasa.
b.
Motivasi
Tidak Langsung (Indirect Motivation)
Motivasi Tidak langsung adalah
motivasi yang diberikan hanya merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung
serta menunjang gairah kerja atau kelancaran tugas sehingga para karyawan betah
dan bersemangat melakukan pekerjaannya. Misalnya ruangan kerja yang nyaman,
suasana pekerjaan yang serasi dan sejenisnya.
5.
Proses
Motivasi
Malayu S.P.
Hasibuan (2005:151), mengatakan bahwa proses motivasi adalah sebagai
berikut :
a.
Tujuan
Dalam proses motivasi perlu ditetapkan terlebih dahulu
tujuan organisasi. Baru kemudian para karyawan dimotivasi kearah tujuan.
b.
Mengetahui
kepentingan
Hal yang penting dalam proses motivasi adalah
mengetahui keinginan karyawan dan tidak hanya melihat dari sudut kepntingan
pimpinan atau perusahaan saja.
c.
Komunikasi
efektif
Dalam proses motivasi harus dilakukan komunikasi yang
baik dengan bawahan. Bawahan harus mengetahui apa yang akan diperolehnya dan
syarat apa saja yang harus dipenuhinya supaya insentif tersebut diperolehnya.
d. Integrasi
tujuan
Proses motivasi perlu untuk menyatukan tujuan
organisasi dan tujuan kepentingan karyawan. Tujuan organisasi adalah needscomplex
yaitu untuk memperoleh laba serta perluasan perusahaan. Sedangkan tujuan
individu karyawan ialah pemenuhan kebutuhan dan kepuasan. Jadi, tujuan
organisasi dan tujuan karyawan harus disatukan dan untuk itu penting adanya
penyesuaian motivasi.
e.
Fasilitas
Manajer penting untuk memberikan
bantuan fasilitas kepada organisasi dan individu karyawan yang akan mendukung
kelancaran pelaksanaan pekerjaan. Seperti memberikan bantuan kendaraan kepada salesman.
f. Team Work
Manajer harus membentuk Team work yang
terkoordinasi baik yang bisa mencapai tujuan perusahaan. Team Work
penting karena dalam suatu perusahaan biasanya terdapat banyak bagian.
Beberapa
teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang bisa menjadi sumber untuk
perusahaan dalam memotivasi dan meningkatkan kinerja karyawannya adalah:
a.
Teori
Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H.
Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat
atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological
needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman
(safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental,
psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4)
kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam
berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization),
dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi
yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis)
dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya
dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya
dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat
klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan
intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena
manusia merupakan individu yang unik.
Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya
bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan
bahkan juga spiritual.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang
berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan
bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman
menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara
simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang
bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta
ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat
apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan
sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
·
Kebutuhan
yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang
akan datang;
·
Pemuasaan
berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari
pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti
tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu
dalam pemenuhan kebutuhan itu.
·
Kendati
pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis,
namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori
motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat
aplikatif.
b.
Teori
McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
Dari McClelland dikenal tentang
teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang
menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan
seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan
kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu
tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi
obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat
mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala,
mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu
menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui
penerapan bakat secara berhasil.
Menurut McClelland karakteristik
orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu :
(1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan
moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena
upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti
kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan
kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
c.
Teori Clyton
Alderfer (Teori “ERG)
Teori Alderfer dikenal dengan
akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf
pertama dari tiga istilah yaitu : E= Existence (kebutuhan akan eksistensi), R=
Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G= Growth
(kebutuhan akan pertumbuhan). Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan
tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara
teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence”
dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “
Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep
Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut
Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia
itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak
lebih lanjut akan tampak bahwa :
·
Makin tidak
terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk
memuaskannya;
·
Kuatnya
keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila
kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;
·
Sebaliknya,
semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar
keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
·
Tampaknya
pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena
menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi
obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada
hal-hal yang dicapainya.
d.
Teori
Herzberg (Teori Dua Faktor)
Ilmuwan ketiga yang diakui telah
memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang
dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor
motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.
Menurut teori ini yang dimaksud
faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya
intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud
dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya
ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku
seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong
sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan
yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang
lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain
status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya,
hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang
diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam
organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami
dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana
yang lebihberpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat
intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.
e.
Teori
Keadilan
Inti teori ini terletak pada
pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha
yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya,
apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak
memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
Seorang akan berusaha memperoleh
imbalan yang lebih besar, atau
Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :
·
Harapannya
tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi
pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
·
Imbalan yang
diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat
pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri
·
Imbalan yang
diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta
melakukan kegiatan sejenis;
·
Peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang
merupakan hak para pegawai Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan
ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu
waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan
para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif
bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering
terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat
kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan
perpindahan pegawai ke organisasi lain.
g.
Teori
penetapan tujuan (goal setting theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam
penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a)
tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c)
tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang
strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan
tentang model instruktif tentang penetapan tujuan.
h.
Teori Victor
H. Vroom (Teori Harapan)
Victor H.
Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu
teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi
merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan
yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang
diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan
jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya
mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat
sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan
harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat
terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan
memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan
menjadi rendah.
i.
Teori
Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi
yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi
karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang
bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh
persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan
organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula
oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya,
dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan
pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah upaya yang
dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk
mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan
mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya
konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah
seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu
singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut
berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut
menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja
lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan
keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga
kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai
konsekwensi positif lagi di kemudian hari.Contoh sebaliknya ialah seorang
pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya,
mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan
kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai
tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada
waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa
agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan
harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara
tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
j.
Teori Kaitan
Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa
tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan
menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai
kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan
di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori
yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang
individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal
maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang
mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e)
keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan. Sedangkan
faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis
dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c)
organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem
imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
a.
Model
Tradisional
Model tradisional ini digunakan
untuk memberikan dorongan kepada karyawan agar melakukan tugas mereka dengan
berhasil, para menajer menggunkan sistem upah insentif, semakin banyak mereka
menghasilkan atau mencapai hasil kerja yang sempurna, semakin besar penghasilan
mereka.
b.
Model
Hubungan Manusiawi
Model hubungan tradisional yaitu
para manajer dianjurkan untuk bisa memotivasi para karyawan dengan mengakui
kebutuhan sosial mereka dan dengan membuat mereka merasa penting dan berguna,
sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerjanya. Para karyawan diberi lebih
banyak waktu kebebasan untuk mengambil keputusan dalam menjalankan
pekerjaannya.
c.
Model Sumber Daya Manusia
Model Sumber Daya Manusia yaitu
karyawan mempunyai motivasi yang sangat beraneka ragam, bukan hanya motivasi
karena uang ataupn keinginan akan kepuasan, tetapi juga kebutuhan untuk
berprestasi dan mempunyai arti dalam bekerja. Tugas manajer dalam model ini,
bukanlah menyuap para karyawan dengan upah atau uang saja tetapi juga untuk
mengembangkan rasa tanggung jawab bersama dalam mencapai tujuan organisasi dan
anggotanya, dimana setiap karyawan menyumbangkan sesuai dengan kepentingan dan
kemampuannya masing-masing.
B.
Prinsip-prinsip
Dalam Motivasi Kerja
Anwar P.
Mangkunegara (2007:100), mengatakan bahwa terdapat beberapa prinsip dalam
memotivasi kerja karyawan adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip
Partisipasi
Dalam upaya memotivasi kerja, pegawai perlu diberikan
kesempatan ikut berpartisipasi dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh
pemimpin.
2.
Prinsip
Komunikasi.
Pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang
berhubungan dengan usaha pencapaian tugas, dengan informasi yang jelas, pegawai
akan lebih mudah dimotivasi kerjanya.
3.
Prinsip
Pengakui Andil Bawahan
Pemimpin mengakui bahwa bawahan (pegawai) mempunyai
andil dalam usaha pencapaian tujuan. Dengan pengakuan tersebut, pegawai akan
lebih mudah dimotivasi kerjanya.
4.
Prinsip
Pendelegasian Wewenang
Pemimpin yang memberikan otoritas atau wewenang kepada
pegawai bawahan untuk sewaktu-waktu dapat mengambil keputusan terhadap
pekerjaan yang dilakukannya, akan membuat pegawai yang bersangkutan menjadi
termotivasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh pemimpin.
5.
Prinsip
Memberi Perhatian
Pemimpin memberikan perhatian terhadap apa yang
diinginkan pegawai bawahan, akan memotivasi pegawai bekrja apa yang diharapkan
oleh pemimpin.
C.
Prespektif
Motivasi
1.
Perspektif
Behavioral
Menekankan imbalan dan hukuman eksternal sebagai kunci
dalam menentukan motivasi murid. Insentif adalah peristiwa atau stimuli positif
atau negatif yang dapat memotivasi perilaku murid. Pendukung penggunaan
insentif menekankan bahwa insentif dapat menambah minat atau kesenangan pada
pelajaran, dan mengarahkan perhatian pada perilaku yang tepat danmenjauhkan
mereka dari perilaku yang tidak tepat (Emmer, dkk, 2000)
2.
Perspektif
Humanistis
Menekankan pada kapasitas murid untuk mengembangkan
kepribadian, kebebasan untuk memilih nasib mereka dan peka terhadap orang lain.
Berkaitan erat dengan pandangan Abraham Maslow bahwa kebutuhan dasar tertentu
harus dipuaskan dahulu sebelum memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan
tertinggi dan sulit dalam hierarki Maslow diberi perhatian khusus yaitu
aktualisasi diri.
3.
Perspektif Kognitif
Pemikiran murid akan memandu motivasi mereka, juga
menekankan arti penting dari penentuan tujuan, perencanaan dan monitoring
kemajuan menuju suatu tujuan (Schunk & Ertmer, 2000; Zimmerman &
Schunk, 2001). Jadi perspektif behavioris memandang motivasi murid sebagai
konsekuensi dari insentif eksternal, sedangkan perspektif kognitif berpendapat
bahwa tekanan eksternal seharusnya tidak dilebih-lebihkan. Perspektif kognitif
mengusulkan konsep menurut White (1959) tentang motivasi kompetensi, yakni ide
bahwa orang termotivasi untuk menghadapi lingkungan mereka secara efektif,
menguasai dunia mereka, dan memproses informasi secara efisien.
4.
Perspektif
Sosial
Kebutuhan afiliasi adalah motif untuk berhubungan
dengan orang lain secara aman. Membutuhkan pembentukan, pemeliharaan, dan
pemulihan hubungan personal yang hangat dan akrab. Kebutuhan afiliasi murid
tercermin dalam motivasi mereka untuk menghabiskan waktu bersama teman, kawan
dekat, keterikatan mereka dengan orang tua, dan keinginan untuk menjalin hubungan
positif dengan guru. Murid sekolah yang punya hubungan penuh perhatian dan
suportif biasanya memiliki sifat akademik yang positif dan lebih senang
bersekolah (Baker, 1999; Stipek, 2002).
Related Posts :
- Back to Home »
- makalah , manajemen , penerbangan »
- MOTIVASI MANAJEMEN