Posted by : M ULUL AZMI UMAM
Saturday, 12 October 2013
Ibuku Idolaku |
Saya sudah bisa membaca dan menulis
saat masih balita, karena ibu mengajarkan dengan penuh cinta Kami pernah hidup
dengan sangat sulit di tepi sebuah rel kereta api. Tetapi apa yang ibu lakukan
luar biasa. Saya sudah bisa membaca dan menulis saat balita, karena ibu mengajar
dengan sabar.
Suatu hari saat berusia lima tahun, saya membuka koran bekas bungkus bawang dan cabai yang dibawa ibu pulang dari pasar. Saya baca semua dalam waktu singkat. Ibu terperangah, menatap saya dengan mata kaca.
Sejak itu, meski tak punya uang, ibu selalu membawakan saya sebuah buku cerita, sepulang dari pasar. Ibu hampir tak pernah beli baju, perhiasan atau barang-barang yang biasa dibeli oleh ibu teman-teman saya. Tapi wanita tercinta itu tak pernah berhenti mengepung saya dengan buku. Bahkan ibu membuat perpustakaan kecil di kamar saya.
Hari-hari itu seolah baru terjadi kemarin. Sapa lembut ibu, buku-buku baru dan bekas yang disampul rapi, rak-rak buku untuk perpustakaan mini kami, cerita-cerita ibu tentang buku-buku bagus yang dulu pernah dibacanya. Ide ibu untuk menyewakan buku di perpustakaan kami agar hasilnya bisa dibelikan buku baru. Menulis catatan harian bersama, membantu membuat majalah sendiri. Senyum, tawa dan semangat ibu membaca puisi dan cerita pendek yang saya tulis di bangku sekolah dasar, ajakannya ke perpustakaan. Jalan-jalan ke toko buku meski berjam-jam di sana kami hanya mampu membeli satu buku tipis….
Ah, ibu. Tahun demi tahun berlalu. Siapa kira, satu demi satu buku saya terbit. Buku-buku yang selalu ibu dekap dengan wajah haru dan ibu simpan di tempat yang bagus dan wangi. Ibunda tercinta, kau telah menciptakan seorang pengarang dari sebuah rumah kayu kecil, di pinggir rel kereta api. Tapi tahukah ibu, jutaan buku yang bisa saya tulis sekalipun tak akan pernah mampu menampung semua cinta dan terimakasih saya padamu, idola abadiku….
(HTR, catatan kecil tentang mama, Pemenang I Sayembara Ibuku Idolaku, Benadryl, 2002)
Suatu hari saat berusia lima tahun, saya membuka koran bekas bungkus bawang dan cabai yang dibawa ibu pulang dari pasar. Saya baca semua dalam waktu singkat. Ibu terperangah, menatap saya dengan mata kaca.
Sejak itu, meski tak punya uang, ibu selalu membawakan saya sebuah buku cerita, sepulang dari pasar. Ibu hampir tak pernah beli baju, perhiasan atau barang-barang yang biasa dibeli oleh ibu teman-teman saya. Tapi wanita tercinta itu tak pernah berhenti mengepung saya dengan buku. Bahkan ibu membuat perpustakaan kecil di kamar saya.
Hari-hari itu seolah baru terjadi kemarin. Sapa lembut ibu, buku-buku baru dan bekas yang disampul rapi, rak-rak buku untuk perpustakaan mini kami, cerita-cerita ibu tentang buku-buku bagus yang dulu pernah dibacanya. Ide ibu untuk menyewakan buku di perpustakaan kami agar hasilnya bisa dibelikan buku baru. Menulis catatan harian bersama, membantu membuat majalah sendiri. Senyum, tawa dan semangat ibu membaca puisi dan cerita pendek yang saya tulis di bangku sekolah dasar, ajakannya ke perpustakaan. Jalan-jalan ke toko buku meski berjam-jam di sana kami hanya mampu membeli satu buku tipis….
Ah, ibu. Tahun demi tahun berlalu. Siapa kira, satu demi satu buku saya terbit. Buku-buku yang selalu ibu dekap dengan wajah haru dan ibu simpan di tempat yang bagus dan wangi. Ibunda tercinta, kau telah menciptakan seorang pengarang dari sebuah rumah kayu kecil, di pinggir rel kereta api. Tapi tahukah ibu, jutaan buku yang bisa saya tulis sekalipun tak akan pernah mampu menampung semua cinta dan terimakasih saya padamu, idola abadiku….
(HTR, catatan kecil tentang mama, Pemenang I Sayembara Ibuku Idolaku, Benadryl, 2002)